MICHAEL John Cusick seorang pendeta di Littleton, Colorado. Amerika. Ia adalah penulis buku Discovering the Divine Desire Beneath Sexual Struggle (Thomas Nelson, Inc.).
Bertahun-tahun, ia menjadi seorang pecandu pornografi kelas kakap. Berikut adalah penuturannya di Huffington Post bagaimana dia melawan semua hal dalam dirinya yang selalu “nyangkut” pada hal berbau seks dan melawan “fitrah”-nya sebagai seorang pendeta.
“Pada suatu malam di musim dingin tahun 1994, saya duduk di tempat parkir yang akrab dengan toko buku XXX, terganggu oleh rutinitas yang tak pernah bisa dihitung. Saya punya istri yang cantik di rumah, tapi dia adalah hal terakhir yang ada di pikiran saya.
Kurang dari satu blok dari toko porno, berdirilah sebuah katedral abad lama. Tanpa peringatan, dorongan untuk menginjakkan kaki di rumah ibadah itu membuat saya kewalahan. Saya berjalan menuju bangunan tersebut, dan membuka pintu kayu ek-nya.
Saya duduk di barisan bangku belakang, dan di ruang itu, saya kembali dengan sesuatu yang telah hilang dari diri saya; diri saya yang sebenarnya. Bagian dari diri saya yang terpaksa, malu dan putus asa.
Malam itu adalah awal dari sebuah akhir. Istri saya memergokki saya berbohong.
Suatu kali saya pulang lebih cepat dan mengatakan pada istri saya, “Aku memutuskan untuk pulang.”
“Tapi kau bilang tadi di telepon bahwa kau lembur,” ujarnya.
Ekspresi bingung di wajahnya terlihat. Saya memang menelepon istri saya untuk mengatakan saya bekerja lembur. Tapi tidak, sebenarnya. Rencana saya adalah untuk seks.
Tapi sesuatu membuat saya berubah pikiran. Istri saya lebih dari terkejut ketika dua puluh menit kemudian, saya kembali masuk ke apartemen kami.
“Aku bilang aku mungkin akan bekerja lembur.”
Sekarang saya bertentangan dengan apa yang saya benar-benar katakan. Ini adalah pertama kalinya dalam hidup saya, selama yang bisa saya ingat, bahwa saya belum menyiapkan alibi.
“Michael, apa yang terjadi?” dia bertanya, dan tidak ada gunanya melanjutkan sandiwara ini. Dia memergokki saya. Bendungan menahan kebohongan dan penipuan meledak. “Saya tidak bisa berkata,” gumam saya.
“Apa yang kamu lakukan?”
Setelah keheningan yang cukup lama, saya berbicara kepada istri saya apa yang saya takuti. “Ada sesuatu yang harus aku beritahu padamu…”
Untuk beberapa jam berikutnya, saya ceritakan kehidupan rahasia saya: pornografi, pelacur, orang-orang dan tempat-tempat ia tidak tahu apapun. Istri saya terlihat hancur, syok, merasa dikhianati, bingung, marah. Saya tidur di lantai malam itu. . . dan dia menangis di balik pintu kamar yang terkunci.
10 Juli 1994, adalah hari terburuk dalam hidup saya. Itu adalah hari di mana saya melepaskan badai kehancuran dan dipaksa untuk menyaksikan wanita yang saya cintai merangkak di reruntuhan. Ketika saya masih lajang, tindakan saya tidak memengaruhi orang lain di keluarga dan teman-teman saya. Sekarang konsekuensi dari kecerobohan saya dapat dilihat di mata Julianne, istri saya itu.
Tapi itu juga hari terbaik dalam hidup saya.
Kecanduan saya terhadap porno dan seks dimulai di sekolah tinggi. Tidak peduli seberapa dekat saya dipergokki oleh orang lain, saya selalu berhasil selamat dan orang melihat saya seperti mawar yang harum. Ketika saya di gereja, kecanduan saya terhadap pornografi tidak berubah. Saya pernah berhenti untuk sementara waktu, bersumpah untuk memperbaiki jalan saya, merobek majalah porno saya, tapi akhirnya dorongan itu kembali.
Sekarang, saya melayani mereka yang kecanduan seks dan pronografi selama lebih dari dua puluh tahun. Dalam pekerjaan saya sekarang, orang-orang yang kecanduan pornogafi selalu kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidup mereka; pernikahan, hubungan keluarga, pekerjaan, pelayanan, reputasi, harga diri.
Sangat menggoda untuk berpikir bahwa tidak ada yang salah dengan kebiasaan porno, bahwa tidak ada yang terluka. Kita berpikir kita melindungi pasangan kita dengan tidak memberitahu mereka. Kita berpikir kita sedang mereduksi ketegangan karena pekerjaan dan dari hari yang melelahkan. Tidak peduli bagaimana kita membenarkan atau merasionalisasinya, dalam dua dekade konseling, tidak satu (orang) telah mengatakan kepada saya bahwa pornografi membuat mereka menjadi suami, istri, ayah, orangtua, karyawan, atau teman yang lebih baik.” [sa/islampos/huffington post]
Bertahun-tahun, ia menjadi seorang pecandu pornografi kelas kakap. Berikut adalah penuturannya di Huffington Post bagaimana dia melawan semua hal dalam dirinya yang selalu “nyangkut” pada hal berbau seks dan melawan “fitrah”-nya sebagai seorang pendeta.
“Pada suatu malam di musim dingin tahun 1994, saya duduk di tempat parkir yang akrab dengan toko buku XXX, terganggu oleh rutinitas yang tak pernah bisa dihitung. Saya punya istri yang cantik di rumah, tapi dia adalah hal terakhir yang ada di pikiran saya.
Kurang dari satu blok dari toko porno, berdirilah sebuah katedral abad lama. Tanpa peringatan, dorongan untuk menginjakkan kaki di rumah ibadah itu membuat saya kewalahan. Saya berjalan menuju bangunan tersebut, dan membuka pintu kayu ek-nya.
Saya duduk di barisan bangku belakang, dan di ruang itu, saya kembali dengan sesuatu yang telah hilang dari diri saya; diri saya yang sebenarnya. Bagian dari diri saya yang terpaksa, malu dan putus asa.
Malam itu adalah awal dari sebuah akhir. Istri saya memergokki saya berbohong.
Suatu kali saya pulang lebih cepat dan mengatakan pada istri saya, “Aku memutuskan untuk pulang.”
“Tapi kau bilang tadi di telepon bahwa kau lembur,” ujarnya.
Ekspresi bingung di wajahnya terlihat. Saya memang menelepon istri saya untuk mengatakan saya bekerja lembur. Tapi tidak, sebenarnya. Rencana saya adalah untuk seks.
Tapi sesuatu membuat saya berubah pikiran. Istri saya lebih dari terkejut ketika dua puluh menit kemudian, saya kembali masuk ke apartemen kami.
“Aku bilang aku mungkin akan bekerja lembur.”
Sekarang saya bertentangan dengan apa yang saya benar-benar katakan. Ini adalah pertama kalinya dalam hidup saya, selama yang bisa saya ingat, bahwa saya belum menyiapkan alibi.
“Michael, apa yang terjadi?” dia bertanya, dan tidak ada gunanya melanjutkan sandiwara ini. Dia memergokki saya. Bendungan menahan kebohongan dan penipuan meledak. “Saya tidak bisa berkata,” gumam saya.
“Apa yang kamu lakukan?”
Setelah keheningan yang cukup lama, saya berbicara kepada istri saya apa yang saya takuti. “Ada sesuatu yang harus aku beritahu padamu…”
Untuk beberapa jam berikutnya, saya ceritakan kehidupan rahasia saya: pornografi, pelacur, orang-orang dan tempat-tempat ia tidak tahu apapun. Istri saya terlihat hancur, syok, merasa dikhianati, bingung, marah. Saya tidur di lantai malam itu. . . dan dia menangis di balik pintu kamar yang terkunci.
10 Juli 1994, adalah hari terburuk dalam hidup saya. Itu adalah hari di mana saya melepaskan badai kehancuran dan dipaksa untuk menyaksikan wanita yang saya cintai merangkak di reruntuhan. Ketika saya masih lajang, tindakan saya tidak memengaruhi orang lain di keluarga dan teman-teman saya. Sekarang konsekuensi dari kecerobohan saya dapat dilihat di mata Julianne, istri saya itu.
Tapi itu juga hari terbaik dalam hidup saya.
Kecanduan saya terhadap porno dan seks dimulai di sekolah tinggi. Tidak peduli seberapa dekat saya dipergokki oleh orang lain, saya selalu berhasil selamat dan orang melihat saya seperti mawar yang harum. Ketika saya di gereja, kecanduan saya terhadap pornografi tidak berubah. Saya pernah berhenti untuk sementara waktu, bersumpah untuk memperbaiki jalan saya, merobek majalah porno saya, tapi akhirnya dorongan itu kembali.
Sekarang, saya melayani mereka yang kecanduan seks dan pronografi selama lebih dari dua puluh tahun. Dalam pekerjaan saya sekarang, orang-orang yang kecanduan pornogafi selalu kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidup mereka; pernikahan, hubungan keluarga, pekerjaan, pelayanan, reputasi, harga diri.
Sangat menggoda untuk berpikir bahwa tidak ada yang salah dengan kebiasaan porno, bahwa tidak ada yang terluka. Kita berpikir kita melindungi pasangan kita dengan tidak memberitahu mereka. Kita berpikir kita sedang mereduksi ketegangan karena pekerjaan dan dari hari yang melelahkan. Tidak peduli bagaimana kita membenarkan atau merasionalisasinya, dalam dua dekade konseling, tidak satu (orang) telah mengatakan kepada saya bahwa pornografi membuat mereka menjadi suami, istri, ayah, orangtua, karyawan, atau teman yang lebih baik.” [sa/islampos/huffington post]
Sumber:http://www.zona-kita.com/2012/10/kisah-seorang-pendeta-yang-kecanduan.html